Rabu, 15 Februari 2012

MENERJANG BANJIR...

Hujan sudah berhenti kami berlima (Meliaro hulu /saya, Bahara, Hadisucipto, dan dua orang porter Nursodik dan Aditya). Berusaha mencari jalan untuk menyeberangi sungai way Ngambur budik. Sangat berhati-hati menginjak batu-batu saat menuruni aliran sungai yang terjal itu, kalau tidak batu tersebut bisa menggelundung dan mengenai teman yang didepan. Atau mungkin bisa jatuh ke jurang, karena batunya berlumut dan licin. Jurang tersebut tidak begitu dalam sekitar 5 - 10 meter didasarnya banyak batu. Dan disisi lain air/aliran sungai.


Batu-batu besar di tengah sungai itu sebagian besar tertutup banjir, membuat arus air bermuatan kayu dan sampah, mengalir disatu sisi hingga sangat deras dan bergelombang, 


Kami sangat ketakutan saat Bahara mencoba meraih  akar yang bergantungan di tepi sungai  yang ujung akarnya melilit pohon diseberang sungai, air sungai tersebut setinggi dada dan arusnya sangat deras. Akar itu bisa dia raih tapi tidak juga bisa digunakan untuk menyeberang. Kami tidak berani nyeberang. Kami ingat dokter hewan yang hanyut (red. meninggal) dihutan saat menyeberang sungai way pemerihan.


Kami perkirakan dengan kemiringan air  ±10% (sepuluh derajat) sekitar 2-3 jam sungai tersebut sudah bisa diseberangi. Sambil menunggu kami memasak air dan mie, pakaian kami basah kuyup tubuh gemetar kedinginan hidangan kopi dan mie sangatlah nikmat.  


Setelah 2 jam lebih kami menunggu, banjir sudah banyak surut, batu-batu mulai kelihatan dan arus gelombang  mulai stabil. Sebenarnya kami masih ragu untuk menyeberang, tapi kami melihat hujan mulai turun lagi, dan dibagian hulu sungai awan hitam sedari tadi belum bergeser, dipinggir sungai ini juga tidak ada tempat yang layak untuk bertenda. 


Dengan wajah tegang dan bermodal tongkat, satu persatu kami menyeberang menggapai batu-batu besar yang bisa digapai. Kami sangat  panik karena airnya deras dan batu yang diinjak sangat licin. Nursodik sempat terpeleset dan terseret arus sekitar 2 meter, dengan reflek Bahara menyodorkan tongkat kepadanya dan lansung dipegang, giginya hampir terbentur batu, saya lihat wajahnya berusaha tersenyum walau pucat seperti orang ketakutan. Arus yang paling deras disisi kiri bahara. Hadi sucipto dan saya masih berhenti, diatas batu di tengah sungai, dengan wajah tegang dan kaku, kami menunggu  Bahara dan Nursodik berusaha mencari posisi aman untuk membantu menyeberangkan kami nantinya. Ransel mereka tinggalkan di atas batu.


Bahara nekat  memenerobos arus deras untuk meraih ranting kayu diseberang. Resikonya sangat fatal kalau tidak bisa diraih, dibawah sana arus sangat deras lalu membentur batu kemudian membentuk pusaran air, dia mempertaruhkan nyawanya. Kami tidak bisa berbuat banyak kami hanya mengatakan ”hati-hati” saya takut melihatnya, dia terseret dan tergulung arus. Dengan usaha keras dia meraih ranting itu, ”Alhamdulillah” katanya setelah meraih ranting tersebut.


Setelah posisi kami masing-masing kokoh Nursodik sudah di batu dekat pinggir seberang, Bahara diatas  batu ditengah,  satu persatu kami menyeberang. Arus yang paling deras itu dilewati dengan memegang kuat tongkat yang disodorkan Bahara dan Nursodik.


Akhirnya dengan usaha keras kami berhasil menyeberangi sungai yang lebarnya ±15 meter tersebut  dengan waktu  hampir satu jam. 


 ”Terimakasih Ya Allah,  Engkau telah menyelamatkan kami.”


Walaupun gerimis kami tetap melanjutkan perjalanan menuju sungai yang kedua dengan jarak ±1 km dilihat di peta sungai tersebut tidak begitu besar. Walaupun begitu kami tetap waspada. @_merly aro hulu (RPU YABI TNBBS)

2 komentar: